Cinta Aisyah dan Malam Nishfu Sya’ban
NU Bangil Online – Malam itu, adalah malam indah Aisyah. Malam itu, adalah satu malam dari beberapa malam dimana ia mendapat giliran kunjungan cinta suami tercintanya, kekasih Rabbnya, Muhammad SAW.
Setiap malam bersama suaminya adalah istimewa, bukan karena kebersamaan belaka. Namun karena itu berarti, suaminya akan memadu kasih dengan Rabbnya, bersimpuh, bersujud dan bermunajat di kamarnya.
Siapa yang tak berbunga hati, bila ruangan khususnya, menjadi tempat manusia termulia, bermesraan dengan sang Kekasih sejati, Allah Swt. Namun, malam itu, saat ia terbangun sendiri, tanpa sang suami berada disisinya. Ia mulai bertanya-tanya, kemana Sang Suami berada.
Cahaya mata indahnya berputar sekeliling kamar, berharap ia salah karena mengira Sang Suami meninggalkannya sendiri.
Namun ternyata benar, Sang Suami memang sedang tidak ada di sisinya. Lalu ia bangun dan mulai berjalan keluar kamar demi mencari Sang Suami Tercinta, Rasulullah Saw.
Tak begitu lama mencari, Ia melihat, Rasulullah ternyata sedang berdiri di Baqi’ Al Gharqad. Begitu tiba di samping beliau, dengan suara lembut, beliau bertanya :
أَكنتِ تَخَافينَ أَنْ يَحيفَ الله عَليكِ ورَسُولُهُ
“Apakah engkau khawatir Allah dan rasul-Nya mengabaikanmu?”
Ia lalu menjawab :
يا رَسُولَ الله ظَنَنتُ أَنَّكَ أَتَيتَ بعضَ نِسائِكَ
“Wahai utusan Allah, aku mengira engkau mengunjungi sebagian istri-istrimu”
Cemburu? Iya…
Aisyah sama dengan wanita pada umumnya yang memiliki rasa cemburu terhadap suami yang sangat dicintainya. Namun kecemburuannya bukan atas dasar ketidak percayaan. Ia tahu suaminya adalah utusan Allah. Ia yakin, bahwa kebesaran risalah suaminya, membuat Sang Suami tercinta hanya berbuat atas izin dan perintah Allah. Ia hanya memastikan kepada Sang Suami, bahwa ia sama sekali tidak punya persangkaan akan diabaikan oleh Allah dan RasulNya, hanya saja ia menyangka bahwa Rasulullah mendapat perintah dari Allah untuk mendatangi sebagian istri-istrinya, karena malam itu, tidak biasanya beliau keluar dan tidak shalat didalam kamarnya.
Kemudian Rasulullah berkata :
إِنَّ الله تَبَارَكَ وتَعَالى يَنزِلُ لَيلَةَ النِّصف من شَعبَانَ إلى سماءِ الدُّنيا فيغفرُ لأَكثرَ من عددِ شعرِ غَنَمِ كَلبٍ
“Sesungguhnya Allah Swt pada malam Nishfu Sya’ban turun ke langit dunia, lalu Dia mengampuni dosa-dosa yang lebih banyak dari jumlah bulu-bulu kambing milik Bani Kalb”
Dalam kisah yang lain,
Malam itu, seperti biasanya, Sang Suami terbangun untuk melakukan sholat.
Namun, malam itu begitu berbeda. Beliau sangat lama dalam sujudnya.
Sangka mulai bermain dalam benak Aisyah.
Kenapa begitu lama?
Kenapa tidak segera tengadah?
Apa beliau telah tiada?
Dengan perasaan berdebar, Ia bangun dari tempatnya.
Ia dekati suaminya.
Lalu ia pegang dan ia gerakkan ibu jari kaki suaminya.
Ternyata Sang suami masih bergerak. Syukurlah…
Lalu, saat Sang Suami, Rasulullah Saw. bangun dari sujudnya dan usai dari sholatnya, beliau berkata kepada istri tercintanya :
يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟
“Wahai Humaira, apakah kau kira bahwa Nabi ini tidak memenuhi hakmu?”
Aisyah menjawab :
لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك
Demi Allah, tidak Ya Rasulallah, akan tetapi aku menyangka dirimu telah tiada karena lamanya sujudmu”
Rasulullah kemudian berkata :
أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟
“Tahukah engkau, malam apa ini?”
Aisya menjawab :
“Allah dan RasulNya yang lebih tahu”
Nabi Muhammad melanjutkan :
هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Ini malam Nishfu Sya’ban, Sungguh Allah Ta”ala pada malam Nishfu Sya’ban inimemperhatikan hamba-hambaNya, lalu Dia mengampuni orang-orang yang memohon ampunan, mengasihi orang-orang yang memohon belas kasih dan membiarkan para pendengki dengan kedengkian mereka.
Oleh : H. Abdul Aziz. AR (ketua Aswaja NU Center PCNU Bangil)
Disarikan dari : Kitab Tuhfah Al Ahwadzi bi Syarh Jami’ At Turmudzi, karya : Syekh Abu Al ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfury, Juz 2 Hal 277