Ibrahim Al-Kurani dan Akidah Orang Nusantara
Bangil, nubangil.or.id – Permasalahan akidah merupakan permasalahan yang tidak habis-habis dibahas. Terutama soal asma’ wa shifat. Buat yang belum tahu, istilah terakhir ini ringkasnya merujuk kepada ayat atau hadis yang mengindikasikan kesamaan antara makhluk dan Khalik. Misal, yad Allah (kalau kita terjemahkan leterlek: tangan Allah), wajh Allah, dlahika Allah (Allah tertawa), dst. Para sarjana mengalami kecanggungan melihat dalil-dalil ini karena ada firman lain, “Tak ada apa pun yang menyerupai Dia” serta dalil rasional tak mungkin Tuhan menyerupai makhluk.
Asya’irah, kelompok mayoritas Islam, mengatakan bahwa kita harus tafwidl alias mengembalikan ke Allah. Jadi kita percaya Allah punya yad, tapi maknanya bukan tangan. Lha terus apa? Ya pokoknya yad bukan tangan, tapi ya yad sesuai kehendak Allah.
Lalu ada beberapa kelompok mutakhir yang melakukan kegiatan takwil. Jadi yad di situ ditakwil sebagai Kuasa Allah. Ini dilakukan agar orang tidak terjebak dalam paham tajsim, yakni menganggap Allah punya bentuk. Namun, katanya, tafwidl lebih mengindikasikan iman seseorang kuat.
Lalu ada satu kelompok lagi. Namanya Atsari, ada juga yang menyebut Ahl Hadis, Salafi, macam-macamlah sebutannya. Mereka menganggap yad di sana sebagai tangan. Cuma tangannya bila kayf. Tidak bisa dibayangkan dan tidak perlu dibayangkan. Kewajiban kita cuma percaya Allah punya ‘tangan’. Kelompok ini dengan dua kelompok di atas seringkali bersinggungan.
Nah, ada kelompok lain yang memiliki pendapat unik. Konon, para ahli tasawuf menganut ini. Di antaranya adalah mahaguru ulama Nusantara Ibrahim Al-Kurani (w. 1690 M). Saya membaca dua manuskrip dia yang berjudul Ithaf Dzaki dan Maslak Jali, keduanya ditulis untuk menjawab pertanyaan dari Jawa. Nah, di sana dikatakan bahwa Allah itu Dzat yang Mutlak, absolut. Keabsolutan Allah itu karena Dzat-Nya sendiri. Karena mutlak, absolut, tidak terikat oleh apa pun, maka Allah bebas bermanifestasi dengan bentuk apa pun yang Dia mau. Mau tangan, kaki, mau senyum, takjub, bersemayam di Arsy, mau turun tiap malam Jumat. Itu semua Allah bebas, karena Dia itu Mutlak Hakiki, tak terikat apa pun.
Saya bandingkan pendapat ini dengan pendapat Syaikh Akbar Ibn Arabi (w. 1240 M), guru besar para sufi, dalam risalahnya berjuul Raddu al-Mutasyabih. Ternyata beliau memiliki pandangan yang kurang lebih mirip. Namun kata Sya’rani (w. 1565) dalam Yawaqit, Sang Belerang Merah (Kibrit Ahmar, julukan Ibn Arabi) tidaklah berakidah demikian. Menurut Sya’rani akidah beliau tafwidl. Kata Sya’roni begini, “jika ada sufi berkeyakinan taysbih/ tajsim itu berarti dia masih pemula. Dia masih silau dengan nur rabbani, cahaya ketuhanan.”
Saya cek Futuhat sekilas memang Ibn Arabi tidak membahas detil persoalan ini. Yang jelas, Ibrahim Al-Kurani punya pengaruh cukup besar di Nusantara. Banyak santri beliau dari Nusantara. Akhirnya saya punya hipotesa yang entah benar atau tidak; mungkin sebab inilah para kiai kita dulu mengajarkan ilmu tauhid kepada orang awam dengan sungguh-sungguh.
Sekian.
Catatan: tiga karya Ibrahim Kurani baru selesai saya tahqiq menggunakan perbandingan 7 nuskhah dengan saya bubuhi beberapa ta’liq (catatan kaki) penting untuk memahami jalan pikir dia.
#sumber FB gus Kholili Kholil