Puasa Wishal, NU dan Prinsip Tawassuth

Suatu hari di bulan puasa Nabi Muhammad saw melakukan yang disebut dengan “wishal”. Wishal adalah berpuasa tanpa sahur dan berbuka. Jadi dua hari (atau lebih) berturut-turut tidak makan apa pun. Apa yang dilakukan Nabi saw. ini kemudian ditiru oleh para sahabat beliau. Namun anehnya, Sang Nabi saw. justru melarang melakukan wishal. Para sahabat pun protes karena merasa sedikit diremehkan, “Tapi kan engkau ber-wishal wahai Rasulallah!” Nabi pun menjawab dengan jawaban yang agak sedikit memorable:
إني لست كهيئتكم، إني أطعم وأسقى
“Aku tidak sama seperti kalian. Aku diberi makan dan minum (oleh Allah).”
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa para sahabat menolak berhenti wishal dan ingin tetap melanjutkannya bersama Nabi saw. Kegiatan ini berlangsung hingga bulan puasa selesai. Di tengah para sahabat yang sempoyongan karena menahan lapar dan dahaga berhari-hari, Nabi saw bersabda: “Andai bulan puasa masih ada, aku masih sangat sanggup ber- wishal.”
Dari sini mayoritas ulama—terutama Mazhab Syafi’i—mengambil kesimpulan bahwa melakukan wishal adalah makruh. Sebenarnya wishal ini haram jika sudah sampai taraf membahayakan diri, namun jika ia yakin tidak apa-apa, maka wishal cuma makruh, kurang disukai Allah swt.
Dari sini bisa dilihat prinsip dasar Syariat Islam adalah tidak berlebihan dalam beragama. Nabi saw. melarang beragama secara berlebihan, karena agama adalah
وسيطة بين التفريط و الإفراط
penengah antara ceroboh dan keterlaluan.
Prinsip ini kemudian diadopsi oleh NU sebagai organisasi berlandaskan Aswaja dengan salah satu poinnya Tawassuth. Senada dengan ini, Hasan Al-Bashri berkata:
لا شيء على النفس أشد من متابعة الشرع وهو التوسط بين الأمور كلها
“Tidak ada hal yang lebih berat bagi hati ketimbang mengikuti syariat karena syariat adalah moderat dalam seluruh urusan.”
Sedangkan hati, ujar Hasan, selalu condong ke satu sisi. Maka ber-NU dan ber-Aswaja bukanlah pekerjaan mudah, namun harus kita laksanakan semampunya. Wallahu a’lam.
Penulis: Gus Kholili Kholil (LTNNU Bangil)