Bahas NU di Era Disrupsi, Gus Hakim Jayli Serukan Mobilisasi dan Orkestrasi
NU Bangil Online
Setelah sesi pembukaan acara NU Millenial Digital Camp yang secara formal dibuka oleh Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim, Dr. H. Muhammad Hasan Ubaidillah, SHI, M.Si, Jum’at malam (06/09/2019), sesi berikutnya adalah pemaparan materi pertama yang disampaikan oleh Gus Hakim Jayli, CEO TV 9 Surabaya, dengan menyitir urgensi mobilisasi dan orkestrasi terutama bagi generasi NU Millenial di era disrupsi.
Di hadapan 200-an peserta delegasi dari PCNU, lembaga, banom, dan utusan pesantren se Jawa Timur, dia menggelorakan spirit kawula muda NU dalam menyebarkan konten-konten positif di media sosial dan menitipkan harapan ke pundak mereka. “Di sini saya hanya ingin sharing. Bahwa Anda adalah syubbānul yaum rijālul ghadd“, tandasnya.
Dia melanjutkan bahwa kelak pada tahun 2045, ketika usia Indonesia mencapai 100 tahun, maka yang menjadi pemimpin adalah mereka yang saat ini dikenal sebagai generasi milenial. “Presiden Indonesia adalah seusia panjenengan”, imbuhnya disertai tepuk tangan para peserta.
Oleh karena itu, NU sebagai salah satu ormas yang mengedepankan persatuan dan kesatuan NKRI, berpretensi untuk menyiapkan pemimpin ketika negara Indonesia genap satu abad mendatang.
Untuk menyiapkan generasi calon-calon pemimpin masa depan, mau tidak mau realitas kekinian harus menjadi titik pijak. Sebab, menurut lelaki jebolan UI Jakarta ini, Indonesia dan dunia dikejutkan oleh banyak perubahan-perubahan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Dia bercerita dengan melakukan flash back ke masa ketika dia masih kuliah, saat era internet belum menjadi kebutuhan keseharian masyarakat. Bahwa salah satu dosennya, sudah pernah memprediksi apa yang akan menjadi realitas hiperkoneksi hari ini, yaitu merebahnya digitalisasi di setiap lini kehidupan.
“Media cetak itu adalah media masa lalu. Media now is TV. Media massa yang akan datang adalah internet. Itu kata dosen saya pada tahun 2000-an,” jelasnya menyala-nyala.
Sebagai Master Degree dalam studi Mass Communication, dia menyarankan agar peserta NU Millenial Digital Camp mengkaji buku terbaru Renald Kasali yang merupakan seri on disruption berjudul “#Mo: Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham”. Menurutnya, buku tersebut menarik karena berusaha menelaah dan mengurai berbagai fenomena dan kasus-kasus mobilisasi dan orkestrasi yang belakangan sering terjadi dan telah menjadi keniscayaan di era hyperconnected society ini.
Dalam konteks kegiatan NU Millenial Digital Camp yang jelas-jelas berkait-kelindan dengan dunia digital, maka diskursus mengenai mobilisasi dan orkestrasi menjadi tak terelakkan. Digitalisasi kehidupan, menurutnya, telah memunculkan efek perubahan yang sangat luar biasa dan bahkan tak terduga, terhadap mekanisme dan pola masyarakat dalam melakukan konsumsi, aktivitas ekonomi produktif, persebaran infomasi, pelayanan publik, digital marketing dan lain-lain.
“Sebuah orkestra tak akan terbangun tanpa kesatuan visi. Orkestrasi membutuhkan kesepahaman. Dan orkestrasi itulah yang kita bangun dengan NU Millenial Digital Camp ini,” jelasnya.
Dia mengingatkan bahwa mobilisasi tidak hanya terjadi dalam sektor ekonomi, tetapi bahkan merasuki domain agama. Meski tentu saja, menurutnya, dalam kasus tertentu mobilisasi agama ini hanya dijadikan wadah untuk tujuan bisnis. Dan mau tidak mau, semuanya berjalan dalam arus mekanisme digital.
“Maka, kalau selama ini PCNU melakukan turba, waktunya sekarang natas: naik ke atas,” tandasnya diiringi gemuruh tepuk tangan peserta.
“Natas” atau naik ke atas, dalam pengertian Gus Hakim Jayli, adalah transformasi media dan pola dalam berdakwah, dari yang awalnya bersifat analog dan klasikal, sudah saatnya beranjak ke on air dan ditransformasikan via internet.
Dihelatnya NU Millenial Digital Camp, salah satunya, adalah dalam rangka menyatukan visi yang sama, agar mobilisasi dan orkestrasi yang bakal disinergikan mampu mencipta harmoni dan keserasian yang padu. Sebab, menurut lelaki penikmat sastra ini, “Berkumpul itu belum tentu bertemu. Banyak kasus orang berkumpul tapi tidak bertemu,” imbuhnya, sembari menukil sebuah ayat Qur’an tahsabuhum jamī’an wa qulūbuhum syattā.
Dengan demikian, penyatuan visi dan persepsi menjadi niscaya. Tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Kata kuncinya adalah interkoneksi. Menurutnya, untuk mendorong mobilisasi dan mencipta orkestrasi, mottonya hanya satu: “Mau kerjasama atau Mati?” (bee)