Beji, nubangil.or.id – Pertengahan tahun 2021, saya pernah mengulas isi Mauidzah Hasanah KH. Izzuddin Muslih dalam sebuah acara Walimah al-‘Arus tentang Birr al-Walidain https://www.facebook.com/100000162452458/posts/4635650903116946/. Pagi ini, ada salah satu pembacanya bertanya : “Bagaimana bila orang tua menyuruh menceraikan pasangan? Apakah bila tidak menuruti mereka berarti tidak birr al-walidain?”
Nabi Muhammad bersabda :
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
“Kehalalan yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”
Al Imam As Shan’any ketika mengulas hadits ini berkata : “Hadits ini menjadi dalil bahwa dalam kehalalan ada beberapa hal yang tidak disukai oleh Allah. Dan yang paling tidak disukai diantara semuanya itu adalah perceraian. Ini berarti perceraian itu tidak mengandung nilai ibadah dan tidak berpahala pastinya. Maka, hadits ini sekaligus menjadi dasar untuk menjauhkan diri dari perceraian, selagi masih ada hal yang bisa menjadi alasan menghindari perceraian tersebut.”
Dalam Hadist yang lain, Rasulullah bersabda :
ما زال جبريل يوصيني بالنساء حتى ظننت أنه سيحرم طلاقهن
“Malaikat Jibril terus menerus berpesan tentang para wanita sampai sampai aku mengira menceraikan mereka akan diharamkan.”
Para Ulama, memahami hadits-hadits tersebut menjadi sangat “menutup pintu” untuk urusan perceraian, bahkan mereka melarang perceraian itu terjadi walaupun atas dasar taat kepada orang tua, padahal Allah memerintahkan kita untuk taat kepada mereka dalam Al Qur’an Al Karim. Syaikh Atha’ bin Abi Rabah, Mufti Al Haram Al Makki ketika ditanya oleh seseorang tentang pria yang mempunyai Ibu dan Istri dan sang Ibu tidak rela terhadapnya kecuali bila ia menceraikan istrinya. Beliau menjawab: “Hendaknya dia bertaqwa kepada Allah dalam urusan ibunya dan senantiasa menjalin hubungan baik dengannya. Sang penanya berkata: “Apakah dia harus menceraikan istrinya?” Beliau menjawab: “Tidak.” Sang penya kembali berkata: “Bukankah dia tidak diridhoi ibunya kecuali dia menceraikan istrinya?” Beliau menjawab: “Maka Allah tidak ridho kepada ibunya. Istrinya ada dibawah tanggung jawabnya, bukan ibunya, dialah yang menentukan, mempertahankan atau menceraikan.”
Ketika mendengar cerita tentang seorang lelaki yang menceraikan istri atas perintah ibunya, Al Imam Hasan Al Bashri berkata:
ليس الطلاق من برها في شيئ
“Perceraian itu sama sekali bukan termasuk berbakti kepada ibunya.”
Suatu ketika, seorang lelaki curhat kepada Syaikh Abdullah bin Al Mubarik, dia berkata: “Dulu ibuku selalu memintaku untuk menikah, sampai aku menikah. Setelah aku menikah, ia selalu memintaku menceraikan istriku. “Syaikh berkata: “Kalau engkau sudah merasa melakukan semua bakti kepada ibumu kecuali ini, ya sudah ceraikan saja. Tetapi, jika engkau menceraikan istrimu, lalu engkau membuat keributan yang luar biasa dan ibumu tetap marah kepadamu sebab kegaduhan yang kau buat itu, maka jangan kau ceraikan istrimu.”
Seorang pria bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Bagaimana jika ayahku memerintahku menceraikan istriku? ” Beliau menjawab: “Jangan kau ceraikan. “Dia berkata: “Bukankah Sayyidina Umar juga menyuruh putranya Abdullah untuk menceraikan istrinya?” Beliau menyahut: “Sampai ayahmu bisa menjadi seperti Sayyidina Umar.”
Sebuah kesimpulan disampaikan oleh Al Muhaddits, Abdul Aziz bin As Shiddiq Al Ghumary : “Maka tidak ada hak bagi ayah suami atau ibunya dan ayah istri atau ibunya untuk merusak atau membubarkan pernikahan anaknya demi keinginan pribadinya dan menuruti perbuatan dan bisikan syetan, hal ini yang banyak terjadi hingga mengakibatkan perceraian dan perpisahan bagi anak dan pasangannya.”
Kokohnya rumah tangga adalah tanggung jawab suami dan istri selaku penumpang bahtera ini. Berumah tangga juga wahana mengolah semua kemampuan untuk menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan.
Semoga rumah tangga kita, dari hari ke hari, senantiasa bertambah kemesraan dan keharmonisannya. Aamiin…
*Penulis Ketua Aswaja NU Center PCNU Bangil
Sumber: akun fb Kajie Aziz